Senin, 25 November 2013

GCG ( GOOD CORPORATE GOVERNANCE)


NAMA : TAZKYA RAMADHANTY
KELAS : 4EA16
NPM :16210841
TUGAS SOFTSKILL “ ETIKA BISNIS”

1) Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, Proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good Corporate Gorvernance dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalaha-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat di perebaiki dengan segera. Penertian ini dikutip dari buku Good Corporate Governance pada badan usaha manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainnya (2008:36).
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadbury, misalnya, pada tahun 1992 melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadbury, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
2) Prinsip GCG
Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut   :
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.
2. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
4. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
5. Fairness(kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
3) Penerapan GCG dalam perbankan
Penerapan sistim GCG dalam perbankan syariah diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:
1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi
yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang
saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan
dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan
2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan
dapat dipertanggungjawabkan
3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para stakeholders
4. Pendekatan yang terpadu berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi,
pengelolaan dan partisipasi organisasi secara legitimate
5. Menimalkan agency cost dengan mengendalikan konflik kepentingan yang
mungkin timbul antara pihak prinsipal dengan agen
6. Memimalkan biaya modal dengan memberikan sinyal positif untuk para
penyedia modal. Meningkatkan nilai perusahaan yang dihasilkan dari biaya
modal yang lebih rendah, meingkatkan kinerja keuangan dan persepsi yang
lebih baik dari para stakeholders atas kinerja perusahaan di masa depan
Dengan demikian melalui beberapa tujuan diatas, penerapan GCG pada bank
syariah diharapkan: (1) semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada
bank syariah, (2) pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara, dan (3)
keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan
menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang
sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.
4) Penerapan GCG dalam BUMN:
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara nomor: Kep-117/M-Mbu/2002 tentang penerapan praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijelaskan bahwa, Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka penjang dengan memperhatikan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan,perundangan dan etika. Dari pengertian diatas terdapat berapa hal penting yang terkandung dalam Good Corporate Governance, antaralain adalah:
1. Efektivitas yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi perusahaan yang bertujuan untuk mendukung dan mendorong pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien, pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholder lainnya
2. Seperangkat prinsip, kebijakan manajemen perusahaan yang diterapkan bagi terwujudnya operasional perusahaan yang efisien, efektif dan profitable dalam menjalakan organisasi dan bisnis perusahaan untuk mencapai sasaran strategis yang memenuhi prinsip-prinsip praktek bisnis yang baik dan penerapannya sesuai dengan peraturanyang berlaku, peduli terhadap lingkungan dan dilandasi oleh nila-nilai sosial budaya yang tinggi.
3. Seperangkat peraturan dan sistem yang mengarah kepada pengendalian perusahaan bagi penciptaan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan (pemerintah, pemegang saham, pimpinan perusahaan dan karyawan) dan bagi perusahaan itu sendiri.
Menurut Kartiwa (2004:7.8) terdapat dua prespektif tentang Good Corporate Governance yaitu:
·         Prespektif yang memandang Corporate Governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan.
·         Prespektif yang lain Good Corporate Governance menekankan pentingnya pemenuhan tanggung jawab badan usaha sebagai entinitas bisnis dalam masyarakat dan stakeholders.
5) Penerapan pemerintah atau instansi pemerintah
Menurut World Bank, pengertian Good Corporate Governance (GCG) adalah kumpulan kaidah hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Lima tujuan utama prinsip Good Corporate Governance yaitu (Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. PT Ray Indonesia, Jakarta, 2005, hal 5) melindungi hak dan kepentingan pemegang saham, melindungi hak dan kepentingan para the stakeholders non pemegang saham, meningkatkan effisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan serta meningkatkan hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.
Penerapan Good Corporate Governance bukan semata-mata mencakup relasi dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar, pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat. Para penganjur pendekatan ini membayangkan munculnya hubungan yang sinergis antara ketiga institusi sehingga terwujud penyelenggaraan negara yang bersih, responsive, bertanggung jawab, semaraknya kehidupan masyarakat sipil serta kehidupan pasar/bisnis yang kompetitif dan bertanggung jawab.
Salah satu agenda yang harus dilaksanakan dalam pencapaian Good Corporate Governance adalah pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.
Salah satu kegiatan pemerintah dalam pelaksanaan APBN yang diindikasikan adanya tindakan KKN adalah pada tahap pengadaan barang dan jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia masih menduduki peran yang sangat penting untuk menggerakkan aktivitas ekonomi. Dikarenakan jumlah uang yang berputar cukup besar, keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik juga sangat besar. Oleh karena itu, Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi sarana yang cukup memadai untuk memperbaiki perilaku dunia usaha dan birokrat publik secara menyeluruh, terutama sebagai alat untuk memulai penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance).
Selama ini Pengadaan barang/jasa pemerintah masih menghadapi kendala yang sangat serius. Tata cara Pengadaan barang/jasa pemerintah hanya dijalankan untuk memenuhi persyaratan formal tanpa memahami latar belakang, essensi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan. Karena itu hasilnya dapat kita saksikan bersama. Hampir seluruh hasil dari proses Pengadaan barang/jasa pemerintah menghasilkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar dan sering dengan kualitas yang kurang memadai serta dengan lingkup kerja yang kurang dari yang dipersyaratkan. Hal yang paling penting dalam penegakan hukum dalam proses pengadaan barang dan jasa adala h adanya ketegasan, kejelasan dan keadilan. Selama ini kita lihat dilapangan, hanya pejabat pengadaan dan pejabat pengelolaan yang dihimbau untuk menegakkan peraturan pengadaan barang dan jasa. Namun disisi lain pihak pengusaha dan rekanan kurang ditegaskan dan penegakkan peraturan tersebut. Pada saat proses pelelangan sering ditemukan penawaran yang tidak wajar. Bila rekanan tersebut akhirnya ditetapkan jadi pemenang lelang, kegiatan tsb tdk dapat dikerjakan dengan baik sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan dengan
alasan dananya tidak mencukupi. Atau pekerjaan ditelantarkan dengan alas an yang tidak jelas.
6) Komentar :
Menurut saya dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG merupakan : Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan penyalahgunaan aset perusahaan ataupun suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.  

Sumber: therealking-yohanes.blogspot.com
idb2.wikispaces.com/file/view/...pdf/.../ekonomi%20islam.ec2002.pdf

Senin, 11 November 2013

Praktek CSR dalam suatu perusahaan


Praktek CSR dalam suatu perusahaan :
  • Contoh pertama Corporate Societal Marketing di Indonesia adalah Produk antiseptik Dettol dan hypermarket Carrefour bersinergi dalam perayaan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia. Kampanye ini untuk menyebarkan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan tangan dan kebiasaan mencuci tangan. Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia didirikan oleh USAID, Bank Dunia, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dan beberapa organisasi dunia lainnya, telah menjadi agenda penting masyarakat dunia sejak tahun 2008. Bagi Dettol dan Carrefour, acara ini merupakan platform yang tepat guna meneruskan agenda edukasi masyarakat terhadap praktik sederhana mencuci tangan dengan sabun sebagai garis pertahanan pertama terhadap virus dan bakteri. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDa) dan Kementerian Kesehatan Indonesia ditemukan mayoritas penyakit yang dialami oleh anak-anak usia dini (1-4 tahun) adalah infeksi sistem pernafasan (34 persen) dan diare (16 persen). Data ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjalankan perilaku sederhana namun berdampak luar biasa yaitu mencuci tangan menggunakan sabun. Menyadari masih rendahnya perilaku menjaga kebersihan tangan di masyarakat inilah, edukasi tersebut melibatkan anak-anak sekolah dasar beserta orangtuanya serta masyarakat umum dalam kegiatan yang sekaligus memperingati Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia bertema ‘Cuci Tangan Pakai Sabun, Perilaku Sederhana Berdampak Luar Biasa’.
  • Contoh kedua yaitu PT.Freeport Indonesia salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yang berlokasi di Papua, yang memulai operasinya sejak tahun 1969, sampai dengan saat ini tidak lepas dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal, baik terkait dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi (Wibisono: 2007). Kasus Pencemaran Teluk Buyat, yaitu pembuangan tailing ke dasar laut laut yang mengakibatkan tercemarnya laut sehingga berkurangnya tangkapan ikan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat lokal akibat operasional PT. Newmon Minahasia Raya (NMR) tidak hanya menjadi masalah nasional melainkan internasional (Leimona, Fauzi :2008). Begitu pula konflik hingga tindak kekerasan terjadi akibat pencemaran lingkungan dan masalah sosial terkait operasional PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) di wilayah Duri Provinsi Riau, dimana masyarakat menuntut kompensasi hingga tingkat DPR pusat terkait dampak negatif operasional perusahaan tersebut terhadap kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang semakin memburuk (Mulyadi: 2003) 

Jadi menurut saya, kesimpulan dari CSR (Corprate Social Responsibility) adalah aspek penting yang harus dilakukan perusahaan dalam operasionalnya untuk meningkatkan citra serta membantu perekrutan karyawan baru, membantu perusahaan yang sedang menjalankan CSR karena dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis dengan manajemen resiko yang merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan.



Artikel tentang CSR (Corporate Social Responsibility)


Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat (Wibisono :2007). Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR, diantaranya:
Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi (reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.
Disatu sisi, hal tersebut memang menggembirakan terutama dikaitkan dengan kebutuhan riel atas bantuan bencana dan rasa solidaritas kemanusiaan. Namun disisi lain, fenomena ini menimbulkan tanda tanya terutama dikaitkan dengan komitmen solidaritas kemanusiaan itu sendiri. Artinya, niatan untuk menyumbang masih diliputi kemauan untuk meraih kesempatan untuk melakukan publikasi positif semisal untuk menjaga atau mendongkrak citra korporasi.
Kedua, Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven).
 Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Seperti saat ini bank-bank di eropa mengatur regulasi dalam masalah pinjaman yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. selain itu beberapa bursa sudah menerapkan indeks yang memasukan kategori saham-saham perusahaan yang telah mengimplemantasikan CSR, seperti New York Stock Exchange saat ini memiliki Dow Jones Sustainability Indeks (DJSI) bagi perusahaan-perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai CSR. Bagi perusahaan eksportir CPO saat ini diwajibkan memiliki sertifikat Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) yang mensyaratkan adanya program pengembangan masyarakat dan pelestarian alam.
Selain market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Ketiga, bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekdar kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sentra laba (profit center) di masa yang akan datang. Logikanya adalah bila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka biaya untuk mengcover resikonya jauh lebih besar ketimbang nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Belum lagi resiko non-finansial yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat pada perusahaan.
Dengan demikian, CSR bukan lagi sekedar aktifitas tempelan yang kalau terpaksa bisa dikorbankan demi mencapai efisiensi, namun CSR merupakan nyawa korporasi. CSR telah masuk kedalam jantung strategi korporasi. CSR disikapi secara strategis dengan melakukan inisiatif CSR dengan strategi korporsi. Caranya, inisatif CSR dikonsep untuk memperbaiki konteks kompetitif korporasi yang berupa kualitas bisnis tempat korporasi beroperasi.  
Manfaat CSR: 
Sedikitnya ada 4 manfaat CSR terhadap perusahaan yaitu :  
1. Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu lingkungan.   
2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.
3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.
            4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko bisnis.
 
CSR yang dilakukan perusahaan dalam kenyataannya merupakan wujud berbagi kepedulian. Namun dalam implementasinya, sebuah perusahaan perlu dengan cermat memastikan bagaimana pola dan metode yang akan dilakukannya bisa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Terutama dalam konteks ini bila menyangkut hal yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Sukses tidaknya pengelolaan CSR juga tergantung pada bagaimana komunikasi dan pendekatan pihak perusahaan dengan masyarakat penerima manfaat CSR.